Untuk Istriku Tercinta,
Kamu akhirnya bisa tidur kembali setelah sejam menyusui, mengganti popok, memeluk dan menenangkan bayi mungil kita yang cantik. Aku sejujurnya takjub. Aku mengaku tertidur 30 menit pertama, seperti dugaanmu. Tapi aku terbangun dalam keadaan linglung disaat mendengar sedikit tangisanmu, dan helaan nafasmu sambil kamu terbaring mencoba terlelap lagi. Instingku sebenarnya membuatku ingin meraih dan memelukmu, tapi aku tidak melakukan itu. Aku meminta maaf untuk itu, tapi aku ingin menjelaskan sedikit. Mungkin kamu bertanya-tanya mengapa aku tidak berkata atau melakukan suatu hal, tapi sejujurnya aku sendiri juga kewalahan oleh berbagai emosi. Sayangku, aku baru menyadari sepertinya aku tidak bisa cukup dalam untuk memenuhi kerumitan emosimu –atau bahkan memahaminya. Aku bukan bermaksud mengangkat stereotip laki-laki versus perempuan, tapi laki-laki kadang agak kesulitan menghadapi air mata. Air mata siapapun, termasuk air mata sendiri.
Momen itu entah mengapa terasa sebagai momen yang sangat pribadi dan sepertinya kamu mungkin butuh melepas semua perasaan-perasaan itu, walaupun aku sebenarnya juga menyesak di dalam hati. Aku jadi tersadar betapa berat kamu bekerja dan betapa kamu mencintai anak kita. Aku juga dapat melihat betapa kamu menyayangiku dan semuanya yang selalu kamu lakukan untuk keluarkan kita ini –semua hal yang mempengaruhi kesehatanmu. Tetapi jika kamu berpikir aku benar-benar tidak menyadari dengan apa yang kamu lalui, aku ingin sedikit berbagi cerita denganmu seperti apa rasanya seorang laki-laki sepertiku menjadi ayah baru.
Sayang, aku paham bahwa menjadi seorang ibu adalah suatu perjalanan yang menakjubkan untukmu. Aku menyaksikan secara langsung kamu menghadapi semua perubahan mulai dari saat hamil, dan aku hamper dibuat tak bisa berkata-kata (sesuatu yang tidak wajar untukku) saat bayi kita benar-benar terlahir. Wow! Pengalaman itu adalah sesuatu yang tidak akan bisa dipersiapkan oleh lelaki manapun di dunia ini. Aku pun agak tidak yakin bagaimana cara perempuan menghadapi itu semua, tapi sebenarnya perempuan diberikan sebuah hadiah ajaib berupa hormon. Faktanya, aku juga kadang bisa merasakan kimia kebahagiaan itu terbanjur di tubuhku belakangan ini. Percayalah! Kamu sungguh menakjubkan saat itu –walaupun perbendaharaan katamu sekarang jadi semakin berwarna dengan munculnya kata-kata kreatif yang belum pernah kudengar untuk mendeskripsikan aku! Aku paham kalau proses ini sangat berat secara fisik dan emosional (walaupun kata-kata ini jadi terkesan sedikit meremehkan ya?), tapi ada banyak sekali juga yang jadi pikiranku sebagai seorang ayah.
Pertama, aku merasa seperti orang asing di sebuah negeri baru yang aneh dan menakjubkan –yaitu negeri lelaki dengan tanggung jawab besar. Ayah adalah deskripsi pekerjaan full-time aku yang baru. Aku turut bantu menciptakan sebuah makhluk kecil yang memiliki bahasa tanpa adanya jasa penerjemah ataupun buku panduan. Aku sebenarnya lumayan terampil dalam ribuan hal dan memiliki beberapa bakat, tapi tanganku seolah berubah menjadi agar-agar dan otakku seolah-olah juga melakukan hal yang sama ketika berurusan dengan bayi kita. Hal itu terutama terjadi ketika aku menggendongnya, mengganti popok, atau berusaha membersihkan pompa asi. Tidak ada kemampuan teknis atau self-talk positif yang dapat membantu –aku benar-benar merasa tak berdaya, sendirian, dan takut. Tiga kata yang jarang sekali digunakan oleh laki-laki. Sejujurnya ini sepertinya pertama kali aku kembali mengakui sendiri perasaan ini. Terakhir kuucapkan saat aku 9 tahun dan tangga menuju rumah pohon tiba-tiba patah sehingga aku harus turun 9 meter dari atas pohon. Hal ini sebenarnya bukan soal ingin terlihat berani, tapi aku hanya ingin merasa kompeten dan dalam kendali. Aku rasa ini terdengar tidak asing lagi bagimu. Aku cukup baik dalam memeluk, membuat muka-muka aneh, dan mengganti popok –walapun hal terakhir ini masih dalam perbaikan.
Selain itu, aku juga merasa ada berat beban besar telah turun padaku. Bukannya terasa seperti guru, malah justru aku merasa seperti murid yang harus belajar setiap waktu. Gurunya adalah seorang makhluk kecil yang selalu bertanya pertanyaan-pertanyaan menakjubkan. Pertama ia bertanya dengan air mata, lalu sekarang dengan kata-kata. Aku betul-betul bingung untuk menjawabnya, tapi aku akan selalu mencoba yang terbaik, pasti! Aku akan menjalinnya nilai-nilai dalam hidupku dan pengalamanku dengan hal-hal yang sudah orang tuaku ajarkan saat aku kecil. Aku akan berusaha untuk mengingat-ingat semua kesalahan yang telah kulakukan dan hal-hal yang aku janjikan untuk perbaiki melalui anakku. Aku biasanya dapat mengeluarkan jawaban yang cukup baik –tapi mungkin aku juga sering khawatir apakah jawaban itu sudah cukup.
Prioritas pertamaku akan selalu tetap melindungimu dan bayi kita. Namun aku tahu bahwa aku juga harus membiarkan anak kita membuat kesalahannya sendiri. Mereka harus belajar terbentur sedikit, terjatuh, dan bangkit sendiri. Menemukan titik seimbang ini agak sulit untuk para ayah karena pastinya kita ingin hanya yang terbaik untuk keluarga. Aku tiba-tiba tersadar bahwa aku sekarang adalah seorang ayah untuk seumur hidupku, dan aku bahagia bisa dapat menjalani perjalanan penemuan diri ini bersamamu. Ayah adalah kata yang cukup berat, tapi aku bahagia untuk bisa menaruhnya di prioritasku tertinggiku dan pencapaian hidupku yang paling atas.
Sayang, Ayah